Memang susah, maksud kita sih mutabaah, eh…jangan-jangan jadi ghibah..bahkan kalau tidak hati-hati malah bisa lebih berat lagi, yaitu namimah.
Betul, dalam tataran praksis operasional jarak antara ghibah dan mutaba’ah sertsa namimah memang agak sulit dibedakan. Untuk mencari titik terangnya , kita harus mendefenisikan terlebih dahulu tiga istilah di atas. Rasulullah saw. Telah mendefenisikan ghibah dalam sebuah Hadis berikut :
“ Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “ Tahukan kalian apa ghibah itu?” mereka (para sahabat) menjawab, “ Allah swt dan para Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda “Engkau menyebut saudara,u dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Ada yang bertanya, ‘bagaimana kalau pada saudaraku itu terdapat sesuatu yang saya katakan (faktual)?’ Rasulullah saw. Menjawab, ‘jika pada saudaramu itu ada sesuatu yang engaku katakan (faktual), maka engaku telah meng-ghibahnya, jika tidak ada (tidak faktual), maka engaku telah membuat kedustaan tentangnya.” (H.R Muslim)
Disini, rasulullah mengaitkan ghibah dengan buhtan. Ghibah adalah untuk hal-hal yang faktual, nyata dan kenyataannya memang begitu. Sedangkan buhtan adalah untuk sesuatu yang tidak faktual, tidak ada kenyataanya.
Berarti saat kita membicarakan orang lauin, ada satu lagi titik kerawanan syar’i, yaitu kemungkinan terjerumus ke dalam buhtan (kedustaan).
Sedangkan namimah adalah :
“ mentransfer pembicaraan satu manusia kepada manusia lainnya dengan maksud merusak” (An-Nawawi dalam Al-Adzkar)
Simpul dari defenisi adalah pada maksud merusak. Sebab bila mentransfer itu dilakukan dengan maksud mendamaikan atau untuk mengacaukan barisan musuh islam, maka itu dibenarkan.
Imam Ghazali mengatakan :
“Hakikat namimah adalah menyebarluaskan rahasia dan menyingkap tirai yang terbukanya sesuatu itu tidak disukai”
Sedangkan mutaba,ah adalah mengikuti perkembangan sesuatu. Ia biasa diartikan evaluasi. Biasa juga diistilahkan taqwim, yaitu suatu upaya meluruskan sesuatu yang bengkok, tidak benar dan menyimpang. Dalam suatu organisasi, mutabaah adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, alias sebuah kemenangan , suatu keniscayaan. Baik mutaba’ah program, mutabaah keuangan ataupun mutabaah orang (SDM).
Pada titik mutabaah ketiga inilah terjadi kerawanan syar’i. jangan-jangan dalam mutabaah itu kita terjerumus kedalam ghibah atau namimah.(nauzubillahi min dzalik).Ketika kita berada dalam sebuh wadah atau organisasi, Tentu kita tidak ingin agenda mutabaah kita berubah menjadi ajang ghibah, namimah atau bahkan buhtan (nauzubillah min dzalik)
Ada kiat-kiat agar kita tidak terjerumus ke dalam kerawanan tersebut, yaitu (1) Dalam mutabaah, kita harus senantiasa dalam suasana takwa dan isytisy’ar muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah Swt). (2)Setiap akan melakukan mutabaah orang, pemimpin majelis akan lebih baik jika : (a) Selalu mengingatkan urgensi takwa dan muraqabatillah (b) Membacakan ulang defenisi ghibah, namimah dan buhtan dalam mutabaah hanya membicarakan hal-hal faktual yang memang ada pada kenyataanya dan memiliki bukti yang kat. Kita tidak memutabaah berdasar pada zhan (dugaan), Prasangka, ataupun atas dasar “katanya…katanya” melainkan dari bukti kuat yang bisa dipertanggungjawabkan, misalnya kita melihat langsung, mendengar langsung atau ada data otentik semacamnya (c) Dalam mutabaah itu, kta tidak sekedar berbicara untuk berbicara, akan tetapi kita membicaakan seseorang denganmaksud mengislah dan memperbaiki), mentaqwim (meluruskan yang bengkok dan menyimpang) serta mencari kemaslahatan ammah yang lebih besar atau pertimbangan-pertimbangan yang dibenarkan oleh syariat islam. (d) Setelah selesai melakukan mutabaah, nhendaknya kita senantiasa mengingat hadis rasulullah :
“Majelis (forum) itu menajadi baik karena amanah” (H.R Ibnu Majah)
Maksudnya, majelis atau forum adalah sesuatu yang awan. Ia akan selamat dari kerawanan itu dan menjadi majelis yang baik, bila semua orang yang hadir memiliki sifat amanah, baik saat berda didalam ataupu setelah keluar dari majelis itu. Segala pembicaran yang ada dalam majelis itu harus dipandnag dan disilapi sebagai suatu amanah yang tidak boleh disampaikan kepada siapa saja, kecuali yang memiliki ahliyah (kapabilitas) untuk itu. (e) Kita harus sadar dan ingat dan menghayati makna yang terkandung dalam dan dibalik doa penutup majelis yang sering kita ucapkan. Lalu berusaha komitmen dengan nilai yang terkandung didalamnya.
Semoga allah Swt selalu menjadikan majelis-majelis kita sebagai majalisul khair wan-naf’I wal barakati ..amin.
(Diambil Dari Buku Membangun Ruh Baru , Ust Musyaffa Aburrahim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar