Selasa, 20 Juli 2010

Keluarga dan Negara



“Mengapa Keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara ?” demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya Ahdaf Al Usrah Fil Islam mengawali pembahasan tentang Posisi Keluarga dalam Negara. “Sebab”, tulisnya, “ Sejauh mana keluarga dalam satu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya.”
Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi, yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendirisebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Empat karakteristik keluarga disampaikan dalam defenisi tersebut diatas .
Pertama, keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan , darah dan adopsi. Kedua, mereka hidup dalam satu rumah dan membentuk rumah tangga (household). Ketiga, mereka merupakan satu kesatuan yang berinteraksi dan berkomunikasi. Keempat, mempertahankan kebudayaan bersama ynag sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang luas atau menciptakan kebudayaan sendiri.
Islam memiliki pandangan yang spesifik tentang keluarga, dan memberikan penghargaan yang tinggi. Menurut Hibbah Rauf Izzat, dalam konsepsi Islam, keluarga adalah unit yang sangat mendasar di antara unit-unit pembangunan alam semesta. Ismail Raji Al-Faruqi menganggap keluarga juga merupakan insfrastruktur bagi masyarakat Islam yang bersaing dengan infrastruktur masyarakat lain di dalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep istikhlaf.
William J. Goode menyebutkan tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi reproduktif, ekonomi dan edukatif. Sedangkan William Ogburn selain fungsi edukatif dan ekonomi, menambahkan dengan fungsi perlindungan , rekreasi, agama dan status pada individu. Lebih dari itu, Islam sejak empat belas abad silam telah memberikan perhatian yang amat spesifik dalam masalah keluarga, dan menempatkan keluarga sebagai batu bata kokoh dalam membangun peradaban ummat.
Salah satu fungsi keluarga yang ditekankan dalam pembahasan di buku ini* adalah fungsi tarbiyah. Pada dsarnya Islam telah menjadikan tarbiyah (pendidikan) sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Diantara bukti yang bisa diungkapkan adalah, banyaknya istilah Ar Rabb yang digunakan dalam Al-Qur’an, yang menurut Ibnu Manzur, diturunkan dari akar yang sama dengan kata tarbiyah. Abul A’la Al Maududi menyatakan, “mendidik dan memberikan perhatian” adalah salah satu dari  makna-makna  implisit kata rabb. Al-Qurthubi berpendapat, kata Rabb dipakai untuk menggambarkan siapa saja yang melakukan sesuatu menurut cara yang sempurna.
Selain itu tak bisa disangkal ladi bahwa pendidkan bermula dari rumah bukan dari sekolah. Bahkan,meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam teori Qunatum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh ada anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa.
Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk mempersiapkan masa depan umat. Khalid Ahmad Asy Syantuh menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. “sebab” katanya, “ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya”. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan tarbiyah untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan, kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.
Maka dengan segala fungsi keluarga yang dipaparkan diatas, maka cita-cita keluarga muslim adalah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (SAMARA). Dalam membangunn keluarga yang dilandasi taqwa, seorang muslim harus memandangnya sebagai sebuah ibadahkepada Allah dan hanya mengharap keridhaan dan pahala dari Allah SWT (Said Hawwa: 117). Untuk itu kedua belah pihak, antara suami dan istri, harus mengetahui dan memahami seluruh persoalan yang bberkaitan dengan kehidupan suami istri, baik berupa ajaran-ajaran dan tata krama Islam ataupun yang menyangkut hak-hak dan kewajiban suami istri dan bersungguh-sungguh menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing, sehingga bangunan keluarga muslim yang dapat memberi teladan benar-benar terwujud.
Sepasang suami istri dalam pandangan Islam laksana pakaian yang saling menutupi, melengkapi dan menghias. Keduanya memiliki kewajiban dan hak, keseimbangan dalam memenuhi hak dan kewajiban diantara keduanya akan menjaga kelangsungan dan keharmonisan keluarga.
*(Taken From Membangun Keluarga Sakinah dan Sejahtera, 2004, DPP PKS), 

Senin, 19 Juli 2010

bersamamu

akhir pekan ini berkesempatan berkunjung ke rumah salah seoarang saudariku, selain karena memenuhi undangan dan janji, sebenarnya aku juga kangen sekali dengan ponakan tercinta Qonita Maylafazza Fanani. Sebelumnya beberapa pekan di bulan Juli ini, aku berjuang melawan lemahnya tubuh dan jiwa....bayangkan saja hampir setiap pekan aku diuji Allah dengan sakit, inilah tanda aku melakukan kedzaliman terhadap diriku, tidak amanah terhadap diriku....
Meski demikian, dengan semangat aku tetap hadir memenuhi undangan saudariku (alhamdulillah suaminya sedang dinas keluar kota). kita kangen-kangenan, bercerita, hingga akhirnya bercita-cita membentuk sebuah yayasan yang peduli dengan anak-anak dan ibu-ibu (bukit cinta foundation, mudahkan ya allah), sungguh perbincangan yang produktif
MEmang sejak awal berkenalan dengan saudariku ini, banyak hal positif yang kudapatkan. Pertama, keistiqomahannya menjalankan puasa daud (terutama sebelum menikah dan memiliki anak) dan ternyata hal ini juga terjadi pada adikknya. Kedua, Produktivitas dan manajemen diri, selama bersahabat dengannya, ia selalu menginspirasiku untuk terus semangat dan maju meski tak secara langsung diucapkannya.
mungkin inilah yang membuatnya sampai di titik ini, dan menurutku itu sangat pantas.
moga persaudaraan dan persahabatan kita sampai di akhirat kelak.

Selasa, 29 Juni 2010

Mutabaah Bukan Ghibah

Memang susah, maksud kita sih mutabaah, eh…jangan-jangan jadi ghibah..bahkan kalau tidak hati-hati malah bisa lebih berat lagi, yaitu namimah.

Betul, dalam tataran praksis operasional jarak antara ghibah dan mutaba’ah sertsa namimah memang agak sulit dibedakan. Untuk mencari titik terangnya , kita harus mendefenisikan terlebih dahulu tiga istilah di atas. Rasulullah saw. Telah mendefenisikan ghibah dalam sebuah Hadis berikut :

“ Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “ Tahukan kalian apa ghibah itu?” mereka (para sahabat) menjawab, “ Allah swt dan para Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda “Engkau menyebut saudara,u dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Ada yang bertanya, ‘bagaimana kalau pada saudaraku itu terdapat sesuatu yang saya katakan (faktual)?’ Rasulullah saw. Menjawab, ‘jika pada saudaramu itu ada sesuatu yang engaku katakan (faktual), maka engaku telah meng-ghibahnya, jika tidak ada (tidak faktual), maka engaku telah membuat kedustaan tentangnya.” (H.R Muslim)

Disini, rasulullah mengaitkan ghibah dengan buhtan. Ghibah adalah untuk hal-hal yang faktual, nyata dan kenyataannya memang begitu. Sedangkan buhtan adalah untuk sesuatu yang tidak faktual, tidak ada kenyataanya.

Berarti saat kita membicarakan orang lauin, ada satu lagi titik kerawanan syar’i, yaitu kemungkinan terjerumus ke dalam buhtan (kedustaan).

Sedangkan namimah adalah :

“ mentransfer pembicaraan satu manusia kepada manusia lainnya dengan maksud merusak” (An-Nawawi dalam Al-Adzkar)

Simpul dari defenisi adalah pada maksud merusak. Sebab bila mentransfer itu dilakukan dengan maksud mendamaikan atau untuk mengacaukan barisan musuh islam, maka itu dibenarkan.

Imam Ghazali mengatakan :

“Hakikat namimah adalah menyebarluaskan rahasia dan menyingkap tirai yang terbukanya sesuatu itu tidak disukai”

Sedangkan mutaba,ah adalah mengikuti perkembangan sesuatu. Ia biasa diartikan evaluasi. Biasa juga diistilahkan taqwim, yaitu suatu upaya meluruskan sesuatu yang bengkok, tidak benar dan menyimpang. Dalam suatu organisasi, mutabaah adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, alias sebuah kemenangan , suatu keniscayaan. Baik mutaba’ah program, mutabaah keuangan ataupun mutabaah orang (SDM).

Pada titik mutabaah ketiga inilah terjadi kerawanan syar’i. jangan-jangan dalam mutabaah itu kita terjerumus kedalam ghibah atau namimah.(nauzubillahi min dzalik).Ketika kita berada dalam sebuh wadah atau organisasi, Tentu kita tidak ingin agenda mutabaah kita berubah menjadi ajang ghibah, namimah atau bahkan buhtan (nauzubillah min dzalik)

Ada kiat-kiat agar kita tidak terjerumus ke dalam kerawanan tersebut, yaitu (1) Dalam mutabaah, kita harus senantiasa dalam suasana takwa dan isytisy’ar muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah Swt). (2)Setiap akan melakukan mutabaah orang, pemimpin majelis akan lebih baik jika : (a) Selalu mengingatkan urgensi takwa dan muraqabatillah (b) Membacakan ulang defenisi ghibah, namimah dan buhtan dalam mutabaah hanya membicarakan hal-hal faktual yang memang ada pada kenyataanya dan memiliki bukti yang kat. Kita tidak memutabaah berdasar pada zhan (dugaan), Prasangka, ataupun atas dasar “katanya…katanya” melainkan dari bukti kuat yang bisa dipertanggungjawabkan, misalnya kita melihat langsung, mendengar langsung atau ada data otentik semacamnya (c) Dalam mutabaah itu, kta tidak sekedar berbicara untuk berbicara, akan tetapi kita membicaakan seseorang denganmaksud mengislah dan memperbaiki), mentaqwim (meluruskan yang bengkok dan menyimpang) serta mencari kemaslahatan ammah yang lebih besar atau pertimbangan-pertimbangan yang dibenarkan oleh syariat islam. (d) Setelah selesai melakukan mutabaah, nhendaknya kita senantiasa mengingat hadis rasulullah :

“Majelis (forum) itu menajadi baik karena amanah” (H.R Ibnu Majah)

Maksudnya, majelis atau forum adalah sesuatu yang awan. Ia akan selamat dari kerawanan itu dan menjadi majelis yang baik, bila semua orang yang hadir memiliki sifat amanah, baik saat berda didalam ataupu setelah keluar dari majelis itu. Segala pembicaran yang ada dalam majelis itu harus dipandnag dan disilapi sebagai suatu amanah yang tidak boleh disampaikan kepada siapa saja, kecuali yang memiliki ahliyah (kapabilitas) untuk itu. (e) Kita harus sadar dan ingat dan menghayati makna yang terkandung dalam dan dibalik doa penutup majelis yang sering kita ucapkan. Lalu berusaha komitmen dengan nilai yang terkandung didalamnya.

Semoga allah Swt selalu menjadikan majelis-majelis kita sebagai majalisul khair wan-naf’I wal barakati ..amin.

(Diambil Dari Buku Membangun Ruh Baru , Ust Musyaffa Aburrahim)

Selasa, 22 Juni 2010

Kala Hati Hampa

Semua orang pasti pernah merasa sendiri, ditinggalkan, sementara itu kita harus menghadapi masalah internal dari dalam diri kita dan juga eksternal baik dari pekerjaan maupun orang tua. Bagi mereka yang ada diluar kita akan sangat gampang untuk mengatakan “sabar aja, pasti ada jalan keluar”. Tapi benarkah itu yang kita butuhkan?
Masalah adalah salah satu anugerah dari Allah, agar kita bertambah dewasa dalam menjalani hidup. Sebuah bentuk kasih sayang terindah dari allah untuk menaikkan derajat kita dimataNya. Masalah bukan berarti Allah tidak cinta pada kita..ia adalah mekanisme alamiah agar kita semakin sadar bahwa kita lemah. Kecantikkan kita seiring dengan berjalannya waktu kan memudar…kekayaan yang tak tersucikan kelak kan habis…jiwa ini akan mati …sehat raga kan rapuh dengan hadirnya penyakit. Segalanya akan hilang…
Bahkan jika berkaca pada para nabiyullah, apa yang kita rasakan belum seberapa. Nabi Ayyub AS diuji Allah dengan penyakit yang menjijikkan hingga ia dijauhi dan ditinggalkan oleh seluruh anak-anak dan istrinya, tapi apakah hal itu membuat ia rapuh dan jatuh.. sungguh nabiyullah benar-benar orang terpilih. Nabi Ayyub tetap sabar dan terus berdoa pada Allah untuk minta ampun dan diangkat segala rasa sakitnya. Tak sedikitpun nabi Ayyub menyalahkan Allah atas apa yang menimpanya. Ia ridho dengan ketentuanNya hingga akhirnya Allah mengangkat rasa sakitnya dan mengembalikan segala yang pernah ia miliki sebelumnya.
Allah itu dekat, seperti dekatnya darah dan jantung. Segala rasa akan Allah pergilirkan pada kita.baik itu rasa sakit, bahagia, sedih, kecewa, terluka, terkhianati, kesepian. Bersyukur atau kufur, segalanya menjadi sebuah sebuah proses apakan kita layak mendapatkan surgaNya atau terpuruk di nerakaNya. Sebelum terlambat, kembalilah pada Allah. Hanya pada allah jiwa ini berpasrah. Semua di dunia ini bergantung pada Allah, maka kembalikan permasalahan kita pada Allah bukan pada yang lain. Tidakkah kita merindukan kelak Allah akan memanggil kita dengan panggilan yang terindah seperti yang allah tulis pada ayat-ayatNya …
“ wahai jiwa yang tenang..kembalilah pada tuhanMu dengan hati yang rida dan dirihdaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surga – Ku “ ( QS Al-Fajr 27-30)